Harusnya, mencintai pasangan hidup diletakkan karena kepentingan agama, bukan yang lain
Oleh: Shalih Hasyim*
Cinta yang manusiawi
SANG Imam, Muhammad Bin Daud Azh – Zhahiri, pendiri aliran pemikiran Zhahiriyah, sempat dijenguk kawan lamanya beberapa saat menjelang ajal. Sang Imam justru mencurahkan isi hatinya yang pilu, tersayat sembilu, kepada kawannya tentang kisah asmaranya yang tak sampai. Beliau pernah mencintai sang idaman hati, tetangganya, tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu hanya sekedar impian yang menerawang di kaki langit, tak pernah terwujud. Curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum kematian menjemputnya. Az Zahrah (bunga), salah satu judul kumpulan puisinya.
Kisah tokoh gerakan Islam modern, Sayyid Qutub tak kalah menarik. Dua kali ia jatuh cinta, dua kali pula ia patah hati. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah beliau pergi ke Kairo untuk melanjutkan kuliah. Sayyid menangisi peristiwa itu.
Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis kedua ini tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Namun ada gelombang yang unik yang tersirat dari sorot matanya, katanya menggambarkan pesona sang gadis. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil meneteskan air mata, gadis itu menceritakan sejujurnya bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir mengisi kekosongan hatinya. Pengakuan tulus ini justru meruntuhkan keangkuhan Sayyid, karena ia memimpikan seorang yang perawan baik fisik maupun psikhis. Isterinya yang kedua ini hanya perawan secara fisik.
Secara manusiawi, ia tenggelam dalam penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan hubungan dengannya. Yang membuat semakin menderita katika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ia membukukan bait-bait puisi yang terinspirasi oleh kegagalan bercinta.
“Apakah kehidupan ini memang tidak menyediakan gadis impianku ?. Ataukah perkawinan yang berkesan itu pada prinsipnya tidak sesuai dengan kondisiku?.”
Setelah itu ia merebut takdirnya dipenjara oleh pemerintah yang zhalim selama 15 tahun, menulis tafsir“Fii Zhilalil Quran” dan mati di tiang gantungan seorang diri. Tanpa ditemani sang istri.
Mengimbangi Kekuatan Amarah
Ahli psikologi modern mengatakan, keberhasilan dan kegagalan berkeluarga merupakan faktor dominan dalam mewujudkan kebahagiaan dan penderitaan manusia di jagat raya. Jika di dunia ini ada surga adalah pernikahan yang harmonis, dan jika di dunia ini ada neraka adalah pernikahan yang kandas di tengah jalan.
Bukankah bersanding dengan kekasih merupakan impian, cita-cita, harapan setiap anak Adam?. Bukankah peristiwa ijab dan qabul (penyerahan wali putri kepada suaminya dan penerimaan suami dari wali calon isteri) adalah salah satu kejadian yang sulit terhapus dalam ingatan dalam bagian episode kehidupan manusia?.
Marilah kita meningkatkan syukur (at Tahadduts bin Nikmah) dengan usia perkawinan kita sekarang, dengan meningkatkan amal shalih terutama dengan orang yang paling dekat dengan kita, pendamping hidup.
Wajar sekali jika Usman bin Affan khalifah ketiga dan menantu Nabi Saw pernah bercerita tentang dirinya sendiri:
“Saya adalah lelaki yang sangat suka kepada perempuan. Syahwat kepada perempuan, “ kata Abul A’la Al Maududi dalam bukunya “Al Hijab”, merupakan sumber vitalitas yang memberikan gairah untuk bekerja dan berkarya. Mengatur penyaluran syahwatun nisa pada tempatnya memberikan efek produktifitas bagi kehidupan manusia.
Syahwat kepada wanita berguna untuk mengimbangi kekuatan lain yang sangat dahsyat, yaitu kekuatan amarah (al Quwwah al Ghadhabiyyah) yang membangkitkan energi dan gairah untuk menghadapi resiko, meremehkan musuh, menghalau ketakutan kepada kematian, menikmati ketegangan jangka panjang, menunda kepuasan sesaat menuju kenikmatan permanen.
Itulah rahasia yang mengungkapkan mengapa Rasulullah Saw selalu membawa serta salah satu istrinya ke dalam berbagai medan pertempuran. Umar bin Khattab, setelah mendengarkan tangisan malam hari yang berasal dari isteri yang berpisah dengan suaminya dan bertanya kepada putrinya Hafshah, ia membuat aturan baku yang mewajibkan setiap prajurit kembali menemui istrinya setelah masa tempur empat bulan.
Inilah ratapan shahabiyat ‘Atikah ketika beberapa malam berpisah dengan suaminya karena panggilan tugas.
Lebih dari empat bulan, kata seorang analis militer, seorang prajurit yang berpisah dengan istrinya berubah menjadi sadis.
Jangan Sampai Membelenggu
Hanya saja kecintaan kepada isteri dan suami harus rasional dan proporsional. Tidak sekedar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Mencintai pasangan hidup diletakkan karena kepentingan agama. Cintailah istrimu dibawah cinta misi !. Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mangasihi yang tidak dilandasi agama pada suatu ketika akan menjadi batu sandungan dakwah.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zuhruf (43) : 67).
Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Dalam kitabnya “Al Hikam” Ibnu ‘Athaillah pada nomor pertama berbunyi:
“Di antara indikasi bersandar kepada amalan (lahiriyah), kurangnya harapan kepada Allah (raja’) ketika tegelincir.”
Umar bin Khattab pernah menyuruh puteranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah Saw untuk menceraikan isterinya. Pasalnya, ia over lapping dalam mencintai isterinya. Ia pernah terlambat shalat berjamaah karena menyisir rambutnya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar ra menganggapnya sebagai kelemahan jiwa.
Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar menjelang wafatnya, untuk mencalonkan puteranya sebagai khalifah ketiga, beliau menjelaskan beberapa alasan penolakannya, diantaranya : Saya tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tidak berdaya menceraikan isterinya.
Kita mencintai isteri karena alasan keagamaan (faridhah syar’iyyah). Dalam salah satu hadits, Nabi Saw bersabda : pilihlah calon istetrimu karena kualitas keagamaannya – mengalahkan pertimbangan kecantikan, keturunan dan kekayaan – supaya kedua tanganmu tidak berdebu. Yakni, jika pertimbangan pilihanmu tidak berdasarkan agama, kamu kelak akan melakukan perbuatan yang hina (usahamu laksana terkontaminasi oleh lumpur), tidak patut dilakukan oleh orang yang berakal. Agama adalah penyejuk, penyelamat dan pembangkit serta memberikan bobot kehidupan (fazhfar bidzatid din taribat yadaak).
Agama adalah tuntunan Ilahi Rabbi untuk segenap orang yang berakal sehat untuk menggapai kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat.
Agamalah yang bisa memberikan ketrampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia. Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika. Sehingga isteri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan akhirat.
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath – Thur (52) : 21).
Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan derajatnya sederajat dengan bapak-bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka di syurga. Sekalipun kualitas amal shalih anaknya lebih rendah. Hal ini untuk menghibur bapak atas upayanya selama ini.
“Allah membuat perumpamaan isteri Firaun bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-MU dalam syurga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At Tahrim (66) : 11).
Pentingnya Keterbukaan
Istri bagi suami laksana pakaian, demikian pula sebaliknya suami. Pakaian memiliki fungsi penutup aurat (rahasia), menjadi perhiasan, melindungi tubuh dari kepanasan dan kedinginan. Karena seorang merupakan pakaian dari yang lain, maka hubungan keduanya tidak ada jarak. Fungsi komunikasi, keterbukaan disini menjadi sangat penting.
Dari sinilah kita yang baru menikah atau penganten lama perlu banyak belajar. Bersamaan dengan perputaran waktu, membangun komunikasi dengan pasangan tidak selalu berjalan lancar dan harmonis. Untuk menciptakan komunikasi yang sehat – yang perlu dikedepankan adalah semangat untuk memberi bukan menuntut - . Keduanya dituntut saling memahami karakter masing-masing. Jika komunikasi dalam keluarga menemui hambatan, betapa banyak pasangan keluarga yang berusia kepala lima, tidak berhasil mempertahankan keintiman, keharmonisan yang telah susah payah dibangun.
Sebut saja kisah berikut ini, si fulan dan fulanah. Pasangan ini telah memasuki usia pernikahannya ke 50 tahun. Usia yang tidak pendek. Seharusnya ia matang, dewasa, kaya pengalaman dalam menyelami samudera kehidupan berkeluarga. Karena telah merasakan pahit dan manisnya menjalin kasih. Namun realitasnya tidak selalu menguntungkan. Demikianlah kehidupan di dunia ini, tidak hanya berwarna hitam putih. Tetapi warna warni kehidupan ini serupa dengan warna pelangi. Merah, kuning, hijau dan biru serta coklat dll.
Sebenarnya, pasangan ini dalam meniti karir kesuksesan hidupanya sampai sekarang dari nol, keduanya melewati jalan yang licin, berkelok-kelok, mendaki, memiliki jurus yang jitu. Dimulai dari kehidupan pas-pasan (pas membutuhkan pas ada) sampai kepada taraf kehidupan sak wontene(semuanya serba ada).
Untuk merayakan pesta emas pernikahannya, diadakan tasyakuran mewah. Menurut persepsi umum suami istri ini adalah pasangan yang paling bahagia. Semua kerabat, handaitaulan turut hadir untuk mengucapkan selamat. Menambah bobot acara tahdduts bin nikmah (tasyakuran), tiba-tiba diselipkan mata acara yang semula cukup wajar, tiba-tiba berakhir dengan suasana yang menggemparkan. Sehingga acara yang semula syahdu menjadi hiruk pikuk, mengundang perhatian semua penghuni hotel berbintang lima, tempat acara diselenggarakan. Pemicunya, ketika puncak acara santap makanan, suami menghadiakan kepada isteri potongan daging ikan tenggiri. Ini merupakan menu istimewa, jika bernostalgia dengan masa-masa sulit yang dilewati, pikirnya. Jika mengingat masa perintisan karir, jangankan makan ikan laut, tahu tempe saja harus di iris sangat tipis. Momentum ini ia ingin manfaatkan untuk membagikan puncak kebahagiaannya kepada isteri tercinta.
Suasana hening, menjadi gaduh ketika sang isteri menangis dengan sangat keras dan mengatakan : saya heran sekali dengan bapak, sudah usia 50 tahun membangun keluarga, tetapi, alangkah terkejutnya saya. Pada pesta yang penuh dengan kebahagiaan ini, - bapak tega menghadiakan menu makanan yang selama ini saya benci - . Kapan pak anda bisa berubah, mengerti perasaan saya !. Masya Allah pak !. Perbanyak istighfar pak !. Pesta emas hari ulang tahun pernikahan menjadi adu mulut. Syukur, tidak sampai berantem.
Miss-komunikasi, inilah inti persoalan yang menjadi kendala keberlangsungan kebahagiaan berkeluarga tadi. Sudah usia kakek dan nenek, terbukti tidak saling memahami perasaan masing-masing. Belum menemukan metode pemecahan yang sama dalam mengantisipasi konflik. Sehingga terjadi hambatan psikhis yang baru ketahuan setelah melewati usia panjang pernikahan. Semoga kita termasuk pasangan yang tidak memakan waktu yang lama dalam beradaptasi dengan keluarga kita. Karena tugas, resiko berumah tangga tidak ringan.
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah, dan dikatakan (kepada keduanya) : Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).: (QS. At Tahrim (66) : 10)
Membangun Sandaran Spiritual
Ada seorang tokoh publik yang hingga usia tua belum sempat memikirkan jodoh. Sedangkan beliau telah berumur 40 tahun. Dialah Syekh Usman An Naisaburi. Berasal dari daerah Naisabur. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai tokoh masyarakat, datanglah seorang gadis shalihah yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk menghibahkan dirinya kepada beliau.
“Wahai Syekh, sungguh aku sangat mencintaimu. Sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fakir ilmu, harta dan miskin iman ini?.”
Ulama yang hartawan ini tergagap, seakan-akan telinganya tersambar petir, diingatkan oleh sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya. Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri. Beliau menjawab: “Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang sudah lanjut usia ini?. Ingat ukhti, masa depanmu masih cukup panjang! Jangan engkau pupuskan harapanmu hanya kerena berkeluarga denganku!.“ Tetapi sang gadis tetap pada pendiriannya.
Singkat cerita lamaran gadis tersebut diterima. Dia, terutama bapaknya sujud syukur. Selama lima belas tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, rahmah wa muthmainnah. Sekalipun banyak ketidak cocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan keluarnya. Tentu, pasangan ini tidak memfokuskan perhatiannya yang bersifat lahiriyah. Ia menyadari, jika tidak menyukai satu sifat istri, memalingkan penglihatan pada sisi yang lain, kata Nabi Saw.
Kalau kita baca tarajum dan manaqib (riwayat kehidupannya), bisa dipahami bahwa kesamaan cinta misi (taqwa) yang bisa mempertahankan dan merawat bahkan menyuburkan keharmonisan rumah tangga sampai 15 tahun. Kebetulan isterinya lebih dahulu kembali kepada Allah. Ketika kebersamaan dengan isterinya yang setia itu berakhir, dia menuangkan bait-bait pusinya yang melukiskan kepedihan hatinya karena berpisah dengan belahan jiwanya terlalu dini.
“Sungguh aku menyesal dengan perpisahan ini…………Sungguh isteriku,…Sekiranya bukan karena taqdir Tuhan, saya berat hati menerima kenyataan pahit ini……kebersamaan kita terlalu cepat berakhir……. hati kita telah terbuhul…..dengan cinta kepada Allah.
Berikutnya, Sang Alim ini mengisi hari-harinya terasa hampa. Sendiri lagi. Ia selalu terkenang dengan isterinya yang cacat fisik itu tetapi hatinya laksana intan mutiara dan lentera di dada.
Ia bukukan gubahan prosanya dalam kutaib (buku kecil), Al – Usrotu Bilaa Masyakil (keluarga tanpa masalah).
Begitulah ruh itu. Ia ibarat pasukan yang siap dikomando, jika ada kesamaan spirit akan mudah menyatu. Dan jika berbeda, akan mudah menimbulkan friksi.
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keindahan isi rumah tidak terbatas dipandang dari hiasan lahiriyah, tetapi yang lebih esensial adalah hiasan spiritual. Rumah yang dalam kamus bahasa Arab “ Sakan” yang bermakna tempat berlabuh lahir dan batin, jasmani dan rohani seluruh penghuninya setelah penat menyeberangi lautan kehidupan yang dihadapkan gelombang yang menghantam sepanjang hari.
Hiasan spiritual akan menyinari hati (yudhii-ul qalb) semua sisi dan isi rumah, sehingga melahirkan optimisme, cerah, ceria menghadapi resiko-resiko yang ditimbulkan sebagai konsekwensi dari adanya pernikahan. Suasana sakinah, mawaddah, rahmah dan ulfah (jinak hati) serta muthmainnah sangat dibutuhkan oleh bayi sebagai buah perkawinan. Suasana itu sebagai lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikhisnya, dimana membutuhkan perhatian dan waktu yang sangat lama (mulazamah).
Itulah dambaan kita semua, mudah-mudahan. Amin
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com
Oleh: Shalih Hasyim*
Cinta yang manusiawi
SANG Imam, Muhammad Bin Daud Azh – Zhahiri, pendiri aliran pemikiran Zhahiriyah, sempat dijenguk kawan lamanya beberapa saat menjelang ajal. Sang Imam justru mencurahkan isi hatinya yang pilu, tersayat sembilu, kepada kawannya tentang kisah asmaranya yang tak sampai. Beliau pernah mencintai sang idaman hati, tetangganya, tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu hanya sekedar impian yang menerawang di kaki langit, tak pernah terwujud. Curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum kematian menjemputnya. Az Zahrah (bunga), salah satu judul kumpulan puisinya.
Kisah tokoh gerakan Islam modern, Sayyid Qutub tak kalah menarik. Dua kali ia jatuh cinta, dua kali pula ia patah hati. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah beliau pergi ke Kairo untuk melanjutkan kuliah. Sayyid menangisi peristiwa itu.
Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis kedua ini tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Namun ada gelombang yang unik yang tersirat dari sorot matanya, katanya menggambarkan pesona sang gadis. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil meneteskan air mata, gadis itu menceritakan sejujurnya bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir mengisi kekosongan hatinya. Pengakuan tulus ini justru meruntuhkan keangkuhan Sayyid, karena ia memimpikan seorang yang perawan baik fisik maupun psikhis. Isterinya yang kedua ini hanya perawan secara fisik.
Secara manusiawi, ia tenggelam dalam penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan hubungan dengannya. Yang membuat semakin menderita katika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ia membukukan bait-bait puisi yang terinspirasi oleh kegagalan bercinta.
“Apakah kehidupan ini memang tidak menyediakan gadis impianku ?. Ataukah perkawinan yang berkesan itu pada prinsipnya tidak sesuai dengan kondisiku?.”
Setelah itu ia merebut takdirnya dipenjara oleh pemerintah yang zhalim selama 15 tahun, menulis tafsir“Fii Zhilalil Quran” dan mati di tiang gantungan seorang diri. Tanpa ditemani sang istri.
Mengimbangi Kekuatan Amarah
Ahli psikologi modern mengatakan, keberhasilan dan kegagalan berkeluarga merupakan faktor dominan dalam mewujudkan kebahagiaan dan penderitaan manusia di jagat raya. Jika di dunia ini ada surga adalah pernikahan yang harmonis, dan jika di dunia ini ada neraka adalah pernikahan yang kandas di tengah jalan.
Bukankah bersanding dengan kekasih merupakan impian, cita-cita, harapan setiap anak Adam?. Bukankah peristiwa ijab dan qabul (penyerahan wali putri kepada suaminya dan penerimaan suami dari wali calon isteri) adalah salah satu kejadian yang sulit terhapus dalam ingatan dalam bagian episode kehidupan manusia?.
Marilah kita meningkatkan syukur (at Tahadduts bin Nikmah) dengan usia perkawinan kita sekarang, dengan meningkatkan amal shalih terutama dengan orang yang paling dekat dengan kita, pendamping hidup.
Wajar sekali jika Usman bin Affan khalifah ketiga dan menantu Nabi Saw pernah bercerita tentang dirinya sendiri:
“Saya adalah lelaki yang sangat suka kepada perempuan. Syahwat kepada perempuan, “ kata Abul A’la Al Maududi dalam bukunya “Al Hijab”, merupakan sumber vitalitas yang memberikan gairah untuk bekerja dan berkarya. Mengatur penyaluran syahwatun nisa pada tempatnya memberikan efek produktifitas bagi kehidupan manusia.
Syahwat kepada wanita berguna untuk mengimbangi kekuatan lain yang sangat dahsyat, yaitu kekuatan amarah (al Quwwah al Ghadhabiyyah) yang membangkitkan energi dan gairah untuk menghadapi resiko, meremehkan musuh, menghalau ketakutan kepada kematian, menikmati ketegangan jangka panjang, menunda kepuasan sesaat menuju kenikmatan permanen.
Itulah rahasia yang mengungkapkan mengapa Rasulullah Saw selalu membawa serta salah satu istrinya ke dalam berbagai medan pertempuran. Umar bin Khattab, setelah mendengarkan tangisan malam hari yang berasal dari isteri yang berpisah dengan suaminya dan bertanya kepada putrinya Hafshah, ia membuat aturan baku yang mewajibkan setiap prajurit kembali menemui istrinya setelah masa tempur empat bulan.
Inilah ratapan shahabiyat ‘Atikah ketika beberapa malam berpisah dengan suaminya karena panggilan tugas.
“Begitu lama terasa malam ini
Merangkak hingga gelap
Kelam semua tepinya
Mana sanggup kupejamkan mata
Tanpa kekasih yang aku cumbui
Oh, Demi Allah andai saja tidak ada Dia
Dan tiada Tuhan selain hanya Dia
Niscayalah ranjang ini
Kan bergoyang semua sudutnya”
Merangkak hingga gelap
Kelam semua tepinya
Mana sanggup kupejamkan mata
Tanpa kekasih yang aku cumbui
Oh, Demi Allah andai saja tidak ada Dia
Dan tiada Tuhan selain hanya Dia
Niscayalah ranjang ini
Kan bergoyang semua sudutnya”
Lebih dari empat bulan, kata seorang analis militer, seorang prajurit yang berpisah dengan istrinya berubah menjadi sadis.
Jangan Sampai Membelenggu
Hanya saja kecintaan kepada isteri dan suami harus rasional dan proporsional. Tidak sekedar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Mencintai pasangan hidup diletakkan karena kepentingan agama. Cintailah istrimu dibawah cinta misi !. Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mangasihi yang tidak dilandasi agama pada suatu ketika akan menjadi batu sandungan dakwah.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zuhruf (43) : 67).
Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Dalam kitabnya “Al Hikam” Ibnu ‘Athaillah pada nomor pertama berbunyi:
مِنْ عَلاَمَاتِ الْأِعْتِمَادِ عَلىَ الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
“Di antara indikasi bersandar kepada amalan (lahiriyah), kurangnya harapan kepada Allah (raja’) ketika tegelincir.”
Umar bin Khattab pernah menyuruh puteranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah Saw untuk menceraikan isterinya. Pasalnya, ia over lapping dalam mencintai isterinya. Ia pernah terlambat shalat berjamaah karena menyisir rambutnya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar ra menganggapnya sebagai kelemahan jiwa.
Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar menjelang wafatnya, untuk mencalonkan puteranya sebagai khalifah ketiga, beliau menjelaskan beberapa alasan penolakannya, diantaranya : Saya tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tidak berdaya menceraikan isterinya.
Kita mencintai isteri karena alasan keagamaan (faridhah syar’iyyah). Dalam salah satu hadits, Nabi Saw bersabda : pilihlah calon istetrimu karena kualitas keagamaannya – mengalahkan pertimbangan kecantikan, keturunan dan kekayaan – supaya kedua tanganmu tidak berdebu. Yakni, jika pertimbangan pilihanmu tidak berdasarkan agama, kamu kelak akan melakukan perbuatan yang hina (usahamu laksana terkontaminasi oleh lumpur), tidak patut dilakukan oleh orang yang berakal. Agama adalah penyejuk, penyelamat dan pembangkit serta memberikan bobot kehidupan (fazhfar bidzatid din taribat yadaak).
اَلدِّيْنُ وَضْعٌ اِلَهِيٌّ سَائِقٌ لِذَوِي الْعُقُوْلِ السَّلِيْمَةِ عَلىَ مَافِيْهِ لِصَلاَحِ مَعَاشِيْهِمْ وَمَعَادِيْهِمْ
Agama adalah tuntunan Ilahi Rabbi untuk segenap orang yang berakal sehat untuk menggapai kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat.
Agamalah yang bisa memberikan ketrampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia. Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika. Sehingga isteri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan akhirat.
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS. Ath – Thur (52) : 21).
Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan derajatnya sederajat dengan bapak-bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka di syurga. Sekalipun kualitas amal shalih anaknya lebih rendah. Hal ini untuk menghibur bapak atas upayanya selama ini.
“Allah membuat perumpamaan isteri Firaun bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-MU dalam syurga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (QS. At Tahrim (66) : 11).
Pentingnya Keterbukaan
Istri bagi suami laksana pakaian, demikian pula sebaliknya suami. Pakaian memiliki fungsi penutup aurat (rahasia), menjadi perhiasan, melindungi tubuh dari kepanasan dan kedinginan. Karena seorang merupakan pakaian dari yang lain, maka hubungan keduanya tidak ada jarak. Fungsi komunikasi, keterbukaan disini menjadi sangat penting.
Dari sinilah kita yang baru menikah atau penganten lama perlu banyak belajar. Bersamaan dengan perputaran waktu, membangun komunikasi dengan pasangan tidak selalu berjalan lancar dan harmonis. Untuk menciptakan komunikasi yang sehat – yang perlu dikedepankan adalah semangat untuk memberi bukan menuntut - . Keduanya dituntut saling memahami karakter masing-masing. Jika komunikasi dalam keluarga menemui hambatan, betapa banyak pasangan keluarga yang berusia kepala lima, tidak berhasil mempertahankan keintiman, keharmonisan yang telah susah payah dibangun.
Sebut saja kisah berikut ini, si fulan dan fulanah. Pasangan ini telah memasuki usia pernikahannya ke 50 tahun. Usia yang tidak pendek. Seharusnya ia matang, dewasa, kaya pengalaman dalam menyelami samudera kehidupan berkeluarga. Karena telah merasakan pahit dan manisnya menjalin kasih. Namun realitasnya tidak selalu menguntungkan. Demikianlah kehidupan di dunia ini, tidak hanya berwarna hitam putih. Tetapi warna warni kehidupan ini serupa dengan warna pelangi. Merah, kuning, hijau dan biru serta coklat dll.
Sebenarnya, pasangan ini dalam meniti karir kesuksesan hidupanya sampai sekarang dari nol, keduanya melewati jalan yang licin, berkelok-kelok, mendaki, memiliki jurus yang jitu. Dimulai dari kehidupan pas-pasan (pas membutuhkan pas ada) sampai kepada taraf kehidupan sak wontene(semuanya serba ada).
Untuk merayakan pesta emas pernikahannya, diadakan tasyakuran mewah. Menurut persepsi umum suami istri ini adalah pasangan yang paling bahagia. Semua kerabat, handaitaulan turut hadir untuk mengucapkan selamat. Menambah bobot acara tahdduts bin nikmah (tasyakuran), tiba-tiba diselipkan mata acara yang semula cukup wajar, tiba-tiba berakhir dengan suasana yang menggemparkan. Sehingga acara yang semula syahdu menjadi hiruk pikuk, mengundang perhatian semua penghuni hotel berbintang lima, tempat acara diselenggarakan. Pemicunya, ketika puncak acara santap makanan, suami menghadiakan kepada isteri potongan daging ikan tenggiri. Ini merupakan menu istimewa, jika bernostalgia dengan masa-masa sulit yang dilewati, pikirnya. Jika mengingat masa perintisan karir, jangankan makan ikan laut, tahu tempe saja harus di iris sangat tipis. Momentum ini ia ingin manfaatkan untuk membagikan puncak kebahagiaannya kepada isteri tercinta.
Suasana hening, menjadi gaduh ketika sang isteri menangis dengan sangat keras dan mengatakan : saya heran sekali dengan bapak, sudah usia 50 tahun membangun keluarga, tetapi, alangkah terkejutnya saya. Pada pesta yang penuh dengan kebahagiaan ini, - bapak tega menghadiakan menu makanan yang selama ini saya benci - . Kapan pak anda bisa berubah, mengerti perasaan saya !. Masya Allah pak !. Perbanyak istighfar pak !. Pesta emas hari ulang tahun pernikahan menjadi adu mulut. Syukur, tidak sampai berantem.
Miss-komunikasi, inilah inti persoalan yang menjadi kendala keberlangsungan kebahagiaan berkeluarga tadi. Sudah usia kakek dan nenek, terbukti tidak saling memahami perasaan masing-masing. Belum menemukan metode pemecahan yang sama dalam mengantisipasi konflik. Sehingga terjadi hambatan psikhis yang baru ketahuan setelah melewati usia panjang pernikahan. Semoga kita termasuk pasangan yang tidak memakan waktu yang lama dalam beradaptasi dengan keluarga kita. Karena tugas, resiko berumah tangga tidak ringan.
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah, dan dikatakan (kepada keduanya) : Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).: (QS. At Tahrim (66) : 10)
Membangun Sandaran Spiritual
Ada seorang tokoh publik yang hingga usia tua belum sempat memikirkan jodoh. Sedangkan beliau telah berumur 40 tahun. Dialah Syekh Usman An Naisaburi. Berasal dari daerah Naisabur. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai tokoh masyarakat, datanglah seorang gadis shalihah yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk menghibahkan dirinya kepada beliau.
“Wahai Syekh, sungguh aku sangat mencintaimu. Sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fakir ilmu, harta dan miskin iman ini?.”
Ulama yang hartawan ini tergagap, seakan-akan telinganya tersambar petir, diingatkan oleh sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya. Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri. Beliau menjawab: “Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang sudah lanjut usia ini?. Ingat ukhti, masa depanmu masih cukup panjang! Jangan engkau pupuskan harapanmu hanya kerena berkeluarga denganku!.“ Tetapi sang gadis tetap pada pendiriannya.
Singkat cerita lamaran gadis tersebut diterima. Dia, terutama bapaknya sujud syukur. Selama lima belas tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, rahmah wa muthmainnah. Sekalipun banyak ketidak cocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan keluarnya. Tentu, pasangan ini tidak memfokuskan perhatiannya yang bersifat lahiriyah. Ia menyadari, jika tidak menyukai satu sifat istri, memalingkan penglihatan pada sisi yang lain, kata Nabi Saw.
Kalau kita baca tarajum dan manaqib (riwayat kehidupannya), bisa dipahami bahwa kesamaan cinta misi (taqwa) yang bisa mempertahankan dan merawat bahkan menyuburkan keharmonisan rumah tangga sampai 15 tahun. Kebetulan isterinya lebih dahulu kembali kepada Allah. Ketika kebersamaan dengan isterinya yang setia itu berakhir, dia menuangkan bait-bait pusinya yang melukiskan kepedihan hatinya karena berpisah dengan belahan jiwanya terlalu dini.
“Sungguh aku menyesal dengan perpisahan ini…………Sungguh isteriku,…Sekiranya bukan karena taqdir Tuhan, saya berat hati menerima kenyataan pahit ini……kebersamaan kita terlalu cepat berakhir……. hati kita telah terbuhul…..dengan cinta kepada Allah.
Berikutnya, Sang Alim ini mengisi hari-harinya terasa hampa. Sendiri lagi. Ia selalu terkenang dengan isterinya yang cacat fisik itu tetapi hatinya laksana intan mutiara dan lentera di dada.
Ia bukukan gubahan prosanya dalam kutaib (buku kecil), Al – Usrotu Bilaa Masyakil (keluarga tanpa masalah).
Begitulah ruh itu. Ia ibarat pasukan yang siap dikomando, jika ada kesamaan spirit akan mudah menyatu. Dan jika berbeda, akan mudah menimbulkan friksi.
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
Keindahan isi rumah tidak terbatas dipandang dari hiasan lahiriyah, tetapi yang lebih esensial adalah hiasan spiritual. Rumah yang dalam kamus bahasa Arab “ Sakan” yang bermakna tempat berlabuh lahir dan batin, jasmani dan rohani seluruh penghuninya setelah penat menyeberangi lautan kehidupan yang dihadapkan gelombang yang menghantam sepanjang hari.
Hiasan spiritual akan menyinari hati (yudhii-ul qalb) semua sisi dan isi rumah, sehingga melahirkan optimisme, cerah, ceria menghadapi resiko-resiko yang ditimbulkan sebagai konsekwensi dari adanya pernikahan. Suasana sakinah, mawaddah, rahmah dan ulfah (jinak hati) serta muthmainnah sangat dibutuhkan oleh bayi sebagai buah perkawinan. Suasana itu sebagai lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikhisnya, dimana membutuhkan perhatian dan waktu yang sangat lama (mulazamah).
Itulah dambaan kita semua, mudah-mudahan. Amin
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com